20211120.
Hari ini adalah hari yang sarat dengan procrastination, menukar kegiatan berat dengan yang lebih ringan. Siang tadi saya menyunting sepertiga dari tumpukan berkas foto bahan unggahan Unsplash, cukup dengan aplikasi Polarr versi cuma-cuma, dengan jumlah filter bawaan yang lebih dari cukup untuk mengundang kehadiran paradox of choice.
Saya menyunting mereka menggunakan komputer jinjing milik sang istri, karena kebetulan memang kini memiliki spesifikasi RAM yang lebih beefy ketimbang milik saya. Namun, karena faktor usia, baterainya hanya mampu bertahan kurang lebih selama sekitar dua jam saja, sesuai dengan durasi rerata maksimal ketahanan punggung saya ketika duduk—atau berdiri—dalam posisi statis.
Saya selalu mengibaratkannya bagai mobil balapan drag, yang mampu berakselerasi dan melaju dengan kecepatan tinggi, namun tidak mampu melakukannya dalam jangka waktu yang lama. Usai isi baterai terkuras habis, saya menemani istri berburu minuman hangat pelengkap suasana musim hujan, kebetulan memang sejak kemarin matahari lumayan jarang muncul.
Tanpa melibatkan alkohol, salah satu jenis minuman yang paling mudah didapatkan di wilayah sekitar kediaman kami adalah minuman old skool yang bernama ronde. Ya, betul, exactly like that Rocky Balboa kind of thing, ejaannya sama persis, sebuah homograph yang sempurna, barangkali.
Saat ronde sudah berada dalam genggaman, kami melanjutkan sisa malam dengan sebuah kegiatan retrospektif, yakni menonton film lama karyaWes Anderson yang bertajuk «The Life Aquatic with Steve Zissou,» masih dengan kombinasi biasa yang melibatkan Bill Murray dan Owen Wilson. Ini adalah film Wes Anderson dari era pra «The Darjeeling Limited,» jadi barangkali itulah sebabnya susunan daftar pemerannya tidak sama solid dibanding film-film karyanya selanjutnya.
Sang istri mulai menguap secara tak terkendali saat durasi film sudah berjalan separuhnya. Atas nama kemanusiaan, serta menuruti anjuran Ban Ki-moon dan António Guterres, jadwal tayang bioskop Kutisari dihentikan sementara, menunggu penonton setianya selesai beristirahat.
Ketika istri berangkat terlelap, saya iseng menengok Disk Utility dan mendapati bahwa kapasitas yang tersisa dari ruang SSD saya mulai menipis. Beberapa puluh menit selanjutnya saya habiskan dengan menjalankan sejumlah aplikasi disk analyzer, lalu kemudian sedikit demi sedikit berhasil mencukur beberapa belas gigabyte berkas yang lumayan sudah tak berguna.
Serangan rasa lapar membuat saya mulai kehilangan kemampuan kognitif, dan kondisi lambung saya terasa funky. Sebuah penanda untuk jeda, lalu mengisi ruang hampa dalam saluran pencernaan.
Tulisan kontemplatif ini disusun ketika usus dua belas jari saya sedang menggelinjang serupa B-Boy di masa gelombang tari kejang pertama menyapu Jawa, atau menggerinda s/erupa Ikang Fawzi berbalut head band yang secara repetitif menyerukan «pak cik, pak-pak, preman-preman, oh… oh…» Baiklah, ambil cucian di rumah Desi, cukup sekian dan terima kasih.
(sua)