Darparfan.
Setelah sekian lama menundanya, akhirnya kami menyempatkan diri untuk menonton film «Parasite» karya Bong Joon Ho. Pasca menonton «Okja,» dapat kami simpulkan bahwa film-film arahan sutradara Korea Selatan ini memang rerata memiliki cerita dan alur yang out of the box, meskipun memang tidak sampai separah seunik film «Tenet» karya Christopher Nolan, yang bahkan sineas kawakan macam Quentin Tarantino-pun masih kesusahan mencernanya. Sebuah ulasan film bahkan menyebutkan bahwa «Parasite» ibarat dua film dengan cerita berbeda, yang baru memunculkan konflik dan atau berganti alur tepat pada pertengahan dari durasi total film.
Tentunya, film susah dicerna berbahasa non Inggris ini tidak kami tonton sendirian, agenda tayangnya sandwiched antara dongeng audio visual arahan sutradara Wes Anderson. Istri saya langsung sepakat saja ketika saya menyampaikan pernyataan barusan, karena ia juga merasakan bahwa ketika menonton film-film Wes Anderson memang ibarat disuguhi lembaran-lembaran estetik sebuah novel grafis yang ilustrasinya teranimasi. Persis seperti pengalamannya saat pertama kali menonton «Persepolis» karya Marjane Satrapi dan Vincent Paronnaud, setelah sebelumnya telah akrab dengan «Embroideries.»
Dua film Wes Anderson tersebut adalah «The Darjeeling Limited» dan «Fantastic Mr. Fox,» kebetulan sekali judul yang terakhir adalah sebuah film dengan teknik animasi stop motion, jadi sangat masuk akal jika disebut sebagai dongeng audio visual. Bagi saya saat ini, ketika David Fincher masih sibuk bersembunyi di gua pertapaannya, momen-momen saat film Wes Anderson dirilis adalah bagaikan momen-momen «shut up and take my money data plan.» Sudah bukan rahasia, kami saya sudah tak sabar menunggu kehadiran «The French Dispatch.»
Film-film Wes Anderson selalu diiringi dengan musik latar yang kece badai, pada suatu ketika istri saya bertanya-tanya bagaimana saya tetiba bisa hafal ikut menyanyikan lagu «Street Fighting Man» milik The Rolling Stones yang diputar dalam salah satu adegan film «Fantastic Mr. Fox,» padahal selama ini ia tak pernah tahu saya memutar maupun menyenandungkannya. Dengan berlagak setengah sombong, saya menjawab pertanyaannya dengan kalimat trademark salah satu keponakan kami, yakni «ya iya lah…» Padahal sebenarnya saya sebenarnya bukan penggemar band Inggris tersebut, dan baru hafal nada dan liriknya justru dari versi cover milik Rage Against The Machine, pada album «Renegades,» yang biasa saya putar menyerupai alamat Apple Campus, yakni «Infinite Loop.»
(sua)