sua
January 5, 2021

Finchest.

Saya menonton ‹Mank› bersama istri pada suatu waktu menjelang akhir tahun lalu. Film dengan ciri-ciri khas lama yang mudah saya—dan belakangan akhirnya juga istri saya—kenali berkat pengalaman menyelami daftar filmografi David Fincher.

Tapi film ini berbeda, karena ini film hitam putihnya yang pertama dan satu-satunya. Meskipun secara visualisasi, penggemarnya sudah dapat mencicipi contoh auteurship monokrom seorang Fincher lewat sejumlah video musik, tepatnya yang dia buat untuk lagu Madonna dan Justin Timberlake.

Konon memang Netflix sejak awal sengaja mengambil risiko membiayai produksi film nir-warna ini demi tujuan non-komersial, yakni demi mencuri perhatian kritikus film, lalu berharap menyabet penghargaan-penghargaan film.

Sebagai seorang penggemar yang cenderung berkacamata kuda, tentu saya akan sangat setuju jika ‹Mank› layak mendapat penghargaan, seperti halnya film-film Fincher yang lalu, terlepas fakta bahwa film ini dihasilkan oleh sebuah rumah produksi film seri.

Pasca ‹Mank› saya mulai kembali menemukan dan membaca artikel-artikel baru tentang Fincher, saya berhutang terima kasih kepada Google yang selalu setia menyimpan data hasil pencarian saya.

Sebagai seorang sutradara dengan latar belakang yang melek teknik—berkat pengalamannya menggarap Star Wars di ILM—Fincher kerap mencoba hal-hal baru dalam segi teknis demi menyempurnakan mahakaryanya.

«We shape our tools, and thereafter our tools shape us Untuk keperluan shooting ‹Mank› ia bahkan memesan kamera dengan sensor khusus kepada pihak RED demi mendapatkan spektrum warna yang cucok untuk produksi film hitam putih. Saya bahkan sampai hari ini masih tak mampu memahami jalan pikiran orang-orang yang rela menukar uangnya untuk kamera Leica M Monochrom.

Saya biasa mengenal Fincher lewat stunt kamera—dengan pergerakan mekanikal yang sangat halus—dan penggunaan efek tiga dimensi yang cukup luar biasa untuk adegan yang tampak sederhana. Sesuatu yang banyak muncul di film-film lamanya, semisal ‹Fight Club› dan ‹Panic Room.›

Tapi dalam ‹Mank› saya tak banyak menemukan ciri-ciri khas tersebut, selain cigarette burns di sebelah kanan atas layar seperti yang dulu pernah diperkenalkan oleh Tyler Durden. Rupanya seiring matangnya usia dan pengalaman, pasca ‹Zodiac› Fincher mulai berusaha mengurangi stunt tersebut dan memilih untuk memerdayai mata penonton sinema lewat cara yang lebih subtle.

Ditulis oleh—sang ayahanda—Jack Fincher, naskah ‹Mank› adalah naskah tua yang telah lama ingin ia wujudkan dalam wujud sinema. Sayangnya, seorang Fincher muda bukanlah sutradara dengan dukungan materi dan kebebasan berekspresi luas, dan masih perlu menghamba pada peringkat box office yang menjadi sumber kelangsungan studio film. Naskah warisan—Jack Fincher meninggal dunia pada tahun 2003—itupun akhirnya berakhir tersimpan di rak, hingga kini, berkat kemurahan hati pihak Netflix.

Memang betul kata Manohla Dargis jika David Fincher dan film-filmnya adalah spesies yang langka—dan semakin langka di era keemasaan film franchise—karena selalu setia menyuguhkan persembahan yang mengecewakan selera umum khalayak penonton sinema pengidam akhir bahagia.

Meskipun demikian, hal itu tak akan mengubah apapun, bagi saya apapun yang melibatkan tangan David Fincher adalah jaminan mutu kepuasan sinematografis. David Fincher selamanya akan menjadi sutradara sempurna yang berhasil mengadaptasi novel Chuck Pahlaniuk menjadi sebuah khayalan pemberontakan anti-korporasi bagi seorang pemuda pada masa pencarian jati dirinya.

Untuk film-film adaptasi mengecewakan lain yang akan datang, mari angkat topi dan bersulang, sambil berharap akan terjadinya mukjizat yang membuat ‹The Girl With The Dragon Tattoo› akhirnya benar-benar menjadi trilogi meski tak laku dijual. Prosit!

(sua)