OMJ.
Kemarin siang tetiba OMJ alias Oky Maju Jaya—bukan nama sebenarnya—menghubungi nomor kontak istri lewat Whatsapp, menanyakan perihal lokasi keberadaan kami pada waktu sore harinya. Karena kami memang sedang tidak memiliki rencana pergi kemanapun pada hari itu, maka beberapa jam kemudian tibalah sudah OMJ di depan hadapan kami. Sambil ditemani pasangannya, dengan protokoler kesehatan yang ketat—masker berlapis ganda yang barangkali bakal membuat saya asphyxiated—OMJ menyerahkan sebuah barang butut milik kami yang memang sudah lama terbengkalai di kediaman pasangannya.
Namun kejutan terbesarnya adalah bukan soal barang butut itu, tetapi sebuah bonus pemberian berupa sekotak tiramisu bikinan rumah à la chef OMJ. Orang timur memang menganut tradisi saling menghargai sebuah pemberian dengan pemberian lainnya. Sebuah siklus kesungkanan tak berujung, karena sebagai penganut tradisi ketimuran kelak kamipun bakal melakukan hal yang serupa. Usai berbincang-bincang, OMJ undur diri untuk kembali menuju kediaman pasangannya di wilayah kelurahan sebelah. Pasangan yang aneh, begitulah kami biasa menjuluki mereka berdua. Tiramisu segera masuk kotak pendingin dalam lemari es, lalu baru kembali keluar menghirup udara bebas ketika bedug masjid ditabuh, sebuah prosedur operasional standar sebagai penanda untuk mulai makan dan minum, demi membatalkan siklus puasa sejak sebelum matahari terbit hingga kembali tenggelam.
Rasanya sangat enak, lezat, dan bergizi. Baiklah, saya mungkin membual soal kandungan gizi, namun yang jelas istri saya menilai takaran rasa manis dalam buah karya dapur OMJ ini cukup pas, tidak terlampau manis sehingga mengurangi risiko overdosis glukosa, dan diabetes adalah sebuah proses yang alami. Protokol kesehatan para wanita ini memang luar biasa, namun tak sampai merusak nafsu makan. Tiramisu ludes dalam seketika, namun untungnya saya sudah sempat memotret sebuah foto untuk kenang-kenangan. Terima kasih OMJ, jasamu tiada tara. Testimoni jujur kami saya mengenai tiramisu ini: lebih sering lebih baik.
(sua)