Pdcst.
Ketika membuka aplikasi Spotify lalu menekan tombol play, biasanya gendang telinga saya akan mendengar alunan lagu-lagu dari daftar putar tertentu. Selebihnya adalah podcast-podcast milik Deddy Mahendra Desta, dr. Rizna Nyctagina, atau podcast apapun lainnya yang juga mengandung Desta, Gina, maupun keduanya sekaligus.
Namun minggu ini ceritanya berbeda, saya berakhir mendengarkan podcast-podcast yang sebelumnya tidak biasa saya dengar. Tidak banyak, sebenarnya, sekadar dua episode saja. Satu adalah podcast ‹Benang Merah› prakarsa Ben K. C. Laksana dan Rara Sekar Larasati, lalu satu lainnya adalah podcast ‹Klub Ngobrol Binatang› prakarsa Felix Dass, Irawandhani Kamarga dan Andreas Junus. Alasan saya tetiba mendengarkan salah satu episode dari kedua seri podcast tersebut adalah karena mereka mengandung dua nama besar yang kebetulan masuk dalam nominasi sebagai ‹idolaque.›
The great teacher Onizuka polymath Kathleen Mariska Azali membahas tentang disparitas akses terhadap teknologi di nusantara, mengibaratkan bahwa lebih mudah dan menguntungkan untuk menjalankan program diskon pengobar bara konsumerisme demi ROI instan ketimbang membangun infrastruktur di daerah pelosok dengan ROI yang relatively questionable atau bahkan sama sekali tidak tentu. Lalu—seperti layaknya seorang KKKat—membahas tindakan-tindakan preventif seputar keamanan digital yang sangat Snowdenian, memperlakukan hidup keseharian bak covert op agen ganda, dengan big brother yang dengan setia selalu senantiasa watching you.
The GOAT polymath OG Herry Sutresna membahas latar belakang penyertaan materi-materi literasi dalam rilisan-rilisan Grimloc Records, atau bahkan rilisan-rilisan sejak era sebelum Harder Records, meskipun kilas balik pribadi terjauh yang saya ingat hanya sampai pada era Subciety Records serta Remains Records. Tak hanya berhenti pada topik seputar literasi, beliau juga membahas pelbagai irisan lain yang pula bersinggungan dengan musik, atau tepatnya lika-liku pengelolaan sebuah label rekaman yang pada era pandemi ini mendapat berkah tak terduga, yakni lewat penerbitan ephemera fisik berbasis cetak edisi terbatas, yang ternyata lebih menguntungkan dalam waktu singkat ketimbang merilis album dalam format vinyl yang juga biasa dicetak terbatas serta memakan waktu produksi yang berliku dan melelahkan.
As a side note, saat ini saya sedang setia menanti rilisan album solo Herry Sutresna a.k.a. Morgue Vanguard yang tahun lalu telah dibagikan salah satu single nya. Sedangkan dari Kathleen Azali, saya sedang menanti momen bersejarah dimana saya dan beliau dapat kembali saling bertukar pesan yang super duper terenkripsi lewat aplikasi messaging bawaan Keybase. Beberapa waktu lalu saya me reset akun Keybase saya secara tidak sengaja, sehingga segala komunikasi baru dengan lawan bicara harus di approve ulang terlebih dahulu, KKKat adalah salah satu lawan bicara saya, atau kalau boleh jujur, KKKat adalah satu-satunya lawan bicara saya di jagat raya Keybase. Jika Keybase ibarat padang pasir yang kering tak berpenghuni, lalu kenapa saya masih setia mempertahankan instalasinya di gawai dan komputer jinjing? Karena Keybase menyediakan ruang penyimpanan daring berbasis KBFS sebesar dua ratus lima puluh gigabyte. Yes, you got that right homie, no sh*t.
(sua)