Webpon.
Ketika pertama kali mencoba menggunakan WebPonize bikinan bung Shogo Sensui, saya tercengang penuh ketakjuban. Bagaikan terkena ilmu sihir, mulut saya menganga serupa salah satu adegan Jim Carrey dalam film ‹The Mask.›
Bung Alvin Toffler pasti tertawa terbahak-bahak tanpa henti ketika menyaksikan ekspresi shock saya yang udik bin ndeso ini. Setelah seumur hidup sejak bangku kuliah berjibaku dengan tiga serangkai JPEG, PNG dan GIF, format WEBP membuat saya merasa telah tiba di masa depan, atau setidaknya versi masa depan yang datang lebih awal serta lebih tersebar merata ketimbang Telefon Tel AVIF.
Tanpa pikir panjang, saya segera melaksanakan prosedur pemutakhiran alutsista artileri demi memuluskan jalannya proses adaptasi monster teknologi masa depan ini. Saya menginstall plugin WebPShop yang resmi dari Google, karena plugin Photoshop bikinan bung Toby Thain hanya mendukung hingga versi CS6.
Saya menginstall plugin WebP Viewer bikinan Langui, karena plugin WebPQuickLook bikinan bung Emin Kura membuat saya semakin alergi dengan CLI. Saya menginstall Pym bikinan bung Chi Wang, karena telat memahami bahwa Squoosh bikinan bung Matias Benedetto sebenarnya bisa diinstall pula sebagai PWA.
Seusai mengunduh lalu mengoptimasi seluruh berkas gambar di blog ini menjadi format WEBP, tibalah saatnya bagi saya untuk mengunggah ulang masing-masing gambar menuju entrinya masing-masing. Pada momen penentuan inilah, saya kembali dibuat tercengang, karena rupanya ujung belakang Teletype belum mendukung format tata dunia media gaya baru ini. Pestanya bubar, JPEG cum suis pulang dengan kecewa, lalu kembali menjalani kehidupannya semula, sembari menunggu masa pensiun tiba.
(sua)