20211121.
Kegiatan bersih-bersih data kemarin membuat saya ketagihan, sebuah hal biasa bagi para OCD mania mantap. Hati saya segera terusik saat melakukan pencarian pada daftar to do, lalu menemukan beberapa item yang berkaitan dengan media penyimpanan
Saya memiliki simpanan berupa sejumlah harddrive pakai ulang, yang merupakan hasil memulung dari dua bangkai komputer jinjing saya yang terdahulu. Harddrive yang pertama berasal dari era pra 2013, saya hafal betul merek dan tipenya, Lenovo B450, mirip nama pesawat pembom di film perang fiksi saja.
Harddrive yang kedua, usianya sedikit lebih muda dari yang pertama, telah setia bekerja keras—dalam arti yang paling harfiah—menjalani masa dinasnya selama kurang lebih delapan tahun, dipensiunkan dari sebuah komputer jinjing yang hampir seluruh permukaannya ditutupi oleh tempelan stiker, yang hingga kini still alive and kicking, setelah diremajakan dan dikenalkan dengan kawan baru bernama SSD.
Harddrive yang pertama memiliki penyakit yang suka datang dan pergi sesuka hati, saya biasa menyebutnya dengan sindrom ‹hit and miss›, yakni kadang berfungsi sempurna tanpa cela seperti pada umumnya, lalu kadang pada waktu lainnya, tetiba mogok bekerja, lalu menolak terdeteksi sampai beberapa lama, baru sembuh serta kembali berfungsi macam sedia kala pasca berkali-kali ditancapkan ulang pada slot USB atau USB C, sambil diberi siraman rohani berupa repetisi surat Al-Fatihah.
Harddrive yang kedua, baru beberapa belas bulan menjalani masa tugas sebagai tipe eksternal, berbalut case yang sedikit agak nyentrik, dengan balutan rubber tipis, meskipun tak terlalu tebal dan rugged macam produk-produk keluaran Lacie.
Nah, apakah harddrive yang kedua juga memiliki penyakit? saya rasa tentu tidak, karena ketika dipakai selama bertahun-tahun, masih adem ayem saja. namun ternyata saya salah, beginilah risikonya kalau sekadar berbekal perasaan.
Penyakit harddrive kedua, yang juga baru saya ketahui hari ini adalah bahwa kecepatan baca dan tulisnya juga ikut-ikutan kena sindrom ‹hit and miss,› kadang mampu menransfer dalam kecepatan hingga 40 MBps, kadang hanya mentok di angka ratusan KBps, sungguh sangat menakjubkan bukan?
Buram paragraf-paragraf diatas mulai saya tulis pada tanggal dua puluh satu bulan November, sedangkan hari ini sudah mencapai tanggal dua puluh tiga bulan Desember. Setelah sebulan lamanya buram tulisan ini mengendap, saya sudah lupa detail-detail apa saja yang pada mulanya ingin saya tulis. Harus saya akui, daya ingat saya memang benar-benar payah.
Singkat cerita, akhirnya saya merekrut satu anggota baru untuk melengkapi rooster harddrive eksternal yang telah tersebut diatas. Harddrive kedua telah saya kuras habis isinya, saya salin tempel menuju harddrive kedua yang masih berstatus rookie tersebut.
Harddrive kedua yang kini telah bergelar kehormatan sebagai senior citizen, kini saya tugaskan untuk menjadi penghuni bangku cadangan, yang hanya akan saya panggil kembali ke lapangan hijau jika keadaan sudah benar-benar darurat, alias jika benar-benar terpaksa, serta tidak ada pilihan lain.
Sebenarnya sempat terbersit pikiran untuk menugaskannya kembali sebagai semacam media library, yang tak terlalu membutuhkan kecepatan transfer warbiyasah. Maklum saja, saya adalah bagian dari generasi yang pernah hidup di era pra Spotify—meskipun juga sekaligus post Napster—sehingga lazim memiliki harta karun digital berupa berkas-berkas MP3 yang melimpah, baik yang berasal dari hasil rip mandiri, maupun hasil rip orang lain dari lokasi geografis yang antah berantah. Namun, pikiran tersebut akan saya endapkan dulu, agar harddrive tersebut dapat sejenak menikmati masa istirahat.
(sua)