Flat Fry.
Saya mengambil sebuah bangku lipat, meletakkannya di atas sebuah kotak pendingin, lalu berdiri diatasnya. Konstruksi yang sama sekali tidak kokoh ini tidak membuat saya takut jatuh, namun akhirnya tetiba merasa merinding justru akibat sang istri tercinta yang—bagai sedang chanting—mengucapkan kata ‹awas› dalam mode repeat.
Beberapa waktu lalu bung Craig Mod memulai newsletter baru bertajuk ‹Huh, A Cafe With a View of the Waterfall,› isinya hanya sebatas sebuah foto dan captionnya. Kesan pertama saya adalah: «what the f*ck? just that?» Namun kemudian saya menyadari bahwa latar belakangnya sebenarnya relatif masuk akal.
Ketika berjalan kaki dari Tokyo ke Kyoto pada November tahun lalu, pastinya bung Craig jadi punya stok foto yang melimpah ruah hasil jepretannya sepanjang perjalanan lima ratus kilometer tersebut. Hal ini tentu membuat bung Craig berhak dengan seenak udel melakukan apa saja pada mereka.
Lalu sayapun jadi berpikir, kenapa saya juga tidak berpola pikir lateral serupa dalam memberdayakan akun Instagram @sua.ist? Kenapa tidak mempecundangi Instagram dengan menggunakannya untuk memuat konten berformat video, alih-alih menggunakan berkas GIF ketika saya butuh mencantumkan animasi gambar bergerak dalam di blog ini, misalnya pada entri yang berjudul ‹Instemp›. Sebab GIF selalu membuat saya berada dalam dilema ketika harus memilih antara kualitas gambar versus ukuran berkas.
Baiklah, mari kembali menuju paragraf pembuka diatas, lalu memberinya sebuah scene demi establishing shot yang afdal. Bersetting di sebuah dapur, pada waktu pagi menjelang siang, saya berdiri pada ketinggian satu meter lebih dari permukaan lantai. Kedua tangan saya menjulur lurus ke arah depan, pada ujung sepasang jari telunjuk dan jempol saya terapit rapat sebuah ponsel pintar, aplikasi kamera bawaannya sedang aktif menyala dan sedang mengambil gambar dalam mode video.
Dengan mencoba menerapkan estetika flat lay—yang gagal secara menyedihkan sebab tangan tak sestabil tripod—saya merekam beberapa detik adegan ketika sang istri tercinta sedang memasak, meliuk-liukkan spatula sutil dan saringan yang tergenggam di—respectively—kiri kanan tangannya. Beberapa waktu sebelumnya ia telah meracik sebuah adonan, dan kini tibalah waktunya bagi adonan tersebut untuk merasakan panasnya api neraka kompor liquefied petroleum gas.
Ketika saya iseng menanyakan tentang apa saja komposisi dalam adonan tersebut, sang istri tercinta segera membagikan detailnya dengan penuh antusiasme. Katanya, adonan tersebut berisi kombinasi jagung, wortel, gandum, telur, daun bawang, temu kunci, garam, bawang merah, bawang putih, lalu sedikit gula, serta sengaja tidak mengikut sertakan cabai dalam susunan kontingen karena ia memang sedang ingin membuat versi yang tidak pedas.
Sang istri tercinta memang gemar untuk over communicate, barangkali bentuk pengejawantahan sebuah peribahasa kuno Republik Rakyat Cina yang berbunyi «the tongue is the sword of a woman, and she never lets it become rusty.»
Video pada post Instagram yang terembed diatas direkam lalu diunggah pada tanggal 19 Maret, namun karena sudah ada entri lain yang terjadwalkan terbit pada tanggal 20 Maret, maka entri ini sengaja diterbit secara postdated pada tanggal 21 Maret. Lalu, belakangan baru saya ketahui kalau ternyata Teletype tidak mendukung embed tag bawaan Instagram yang berbasis Javascript, sehingga saya terpaksa kembali menjalin hubungan dengan iframe
. Aih… jijay bajay…
(sua.ist)