Guna (Part II).
Ada yang pernah tahu TVC Kit Kat diatas? Sepenggal naskah dialognya berbunyi «C! C! Charlie! Charlie!» Bukan, bagian tersebut bukanlah tentang tokoh Charlie pasangan Snoopy dalam strip komik Peanuts. Bagi yang suka menonton film perang, mungkin sudah paham bahwa yang dimaksud dengan ‹Charlie› adalah sandi ketiga dalam urutan alfabet fonetik NATO, yang sebelumnya didahului oleh ‹Alfa› dan ‹Bravo.›
Tak lama setelah Bung Guna saya kirimi tautan tulisan ‹Part I› lewat aplikasi WhatsApp, dengan secepat titipan kilat beliau segera membalas dengan sebuah sebuah kata multitafsir yang naudzubillah pendeknya. Kata singkat, padat dan jelas yang terdiri dari tiga huruf tersebut, andai saja dipakai sebagai judul sebuah album musik, maka sudah bisa dipastikan sampulnya akan diimbuhi label «Parental Advisory: Explicit Content» oleh anggota perwakilan RIAA ASIRI. Jika dieja menggunakan alfabet fonetik NATO, kata tersebut berbunyi sebagai berikut:
«Charlie Uniform Kilo.»
Namun sebagai seorang yang lelaki yang bijak dan bersahaja, saya berusaha—sekuat tenaga—untuk tetap berpikiran positif. Mungkin yang sedang dimaksud oleh bung Guna adalah jargon ITS, yang merupakan akronim dari «Cerdas Ulet Kreatif.» Tapi pak, tapi buk, faktanya adalah jargon tersebut sudah dipensiunkan sejak tahun 2008, lalu digantikan dengan «Cerdas Amanah Kreatif.»
Saya menarik napas dalam-dalam, menahannya selama mungkin, lalu mengeluarkannya kembali lewat mulut. Ibarat Thich Quang Duc, saya bersila dalam posisi lotus, kemudian membayangkan diri saya—masih—diselimuti oleh aura kasih positif. Dan benar saja, dugaan saya tak sepenuhnya salah, sejurus kemudian bung Guna kembali mengirimkan dua baris pesan pujian sebagai berikut:
«Ajari po’o iso nulis lugas dan jenaka ngunu.» «Wis kelase D***** I**** ngene.»
Atas pertimbangan kode etik jurnalistik netiquette, maka name dropping di atas terpaksa saya sensor demi mencegah agar tidak berbuntut panjang, meskipun nama tersebut sangat bernilai di mata Googlebot. Setidaknya jauh lebih menjual jika ditilik dari segi SERP, ketimbang nama lengkap bung Guna, yang barangkali tertera pada ribuan jutaan akte kelahiran di seantero wilayah kepulauan NKRI.
Nama yang tidak lulus sensor tersebut adalah nama seorang pria, mantan bos besar bung Guna di tempat kerjanya yang terdahulu. Kini bung Guna telah mengundurkan diri, pindah lokasi lalu ganti bekerja dengan anak laki-laki dari pria yang tersebut diatas. Ibarat sedang membicarakan tentang Lord Voldemort, saya juga akan berusaha untuk tidak menyebut nama anak laki-laki tersebut. Salah dua clue yang bisa saya sebutkan adalah bahwa ia state educated dan hobi bersepeda.
Which is why, itulah kenapa, bung Guna juga kerap kali mengirimi saya tautan-tautan artikel topik seputar sepeda. Selain angkutan umum yang bernama bemo, sepeda angin adalah alat transportasi pilihan saya sejak zaman baheula. Alasan pertama adalah karena saya tidak punya SIM. Alasan kedua adalah karena jiwa miss queen saya tidak memiliki alat transportasi yang membutuhkan SIM. Alasan ketiga adalah karena saya peduli sadar iklim. Alasan yang terakhir berpotensi mengundang hujatan warganet.
Kembali membahas kutipan balasan bung Guna, meskipun secara sekilas tampak sebagai sebuah kalimat pujian, namun beda ceritanya dengan saya, yang sudah mengenal karakter asli bung Guna sebelum garis pantai di daerah sinciput miliknya terkena dampak erosi. «Ayin tahat ayin.» «Eye for an eye.» Komedi satir dibalas dengan komedi satir lainnya, sebuah balas dendam yang sempurna.
Ingin rasanya saya segera balik membalas pesan pujian abal-abal bung Guna tersebut dengan logo lama Arkansas State University, namun karena sebuah faktor X yang dalam bahasa Belanda biasa disebut sebagai ‹kesuwen,› maka akhirnya saya sekadar melaksanakan prosedur salin tempel pada kata yang terdiri dari tiga huruf diatas.
(bersambung, baca ‹Part I›)
(sua)